Jumat, 08 September 2017
Jumat, 03 Maret 2017
ALAT UKUR DENGAN SATUAN TIDAK BAKU
ALAT
UKUR DENGAN SATUAN TIDAK BAKU
(SEBAGAI WARISAN KEARIFAN LOKAL DI KASEPUHAN
CISITU BANTEN SELATAN YANG MASIH DIPERTAHANKAN)
Oleh
: Tosim Awaludin,S.Pd.,MM
A.
PENDAHULUAN
Mengukur
merupakan kegiatan yang tidak bisa kita pisahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Mengukur menjadi kegiatan yang rutinitas dan mejadi kebutuhan dalam berbagai kegiatan . Dalam kegiatan
pengukururan tidak terlepas dari alat
ukur, orang yang mengukur dan alat yang di ukur.Mengukur merupakan kegiatan
membandingkan suatu besaran dengan sebuah satuan standar yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Alat ukur yang digunakan ada alat
ukur satuannya baku dan alat ukur dengan
satuan tidak baku. Di beberapa tempat alat ukur satuan tidak baku masih
digunakan seperti jengkal, depa, hasta dan lain-lain.
Sama halnya dengan adat kasepuhan cisitu, masih banyak masyarak
adatnya menggunakan alat ukur dengan satuannya tidak baku atau mungkin malah
kita asing dengan satuan –satuan yang digunakannya, seperti pocong,deka, kojor ,dan
matek.
Di kasepuhan adat cisitu penggunaan
satuan-satuan diatas menjadi hal biasa,dengan alasan mudah digunakan,
simpel dan tidak harus membawa alat ukur
yang membuat mereka sulit.
Dengan melihat hal diatas , maka
penulis tertarik untuk mengkaji satuan-satuan yang masih digunakan di daerah
adat kasepuhan cisitu yang secara turun temurun selalu di wariskan ke generasi
berikutnya dan terkadang menjadi satuan
keharusan untuk di pakai dalam kehidupan
bermasyarakat.
B.
KAJIAN
TEORI
Pengukuran(measurement)
merupakan penentukan ukuran atau
kapasitas suatu besaran dengan cara membandingkannya dengan besaran tertentu
yang sejenis yang digunakan sebagai satuan.
Menurut Atu ira (2004:2) Pengukuran adalah membandingkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain yang dianggap sebagai patokan.Maka, dalam pengukuran terdapat
dua faktor utama yang harus di perhatikan , yaitu pembandingnya serta patokan
atau standar yang digunakan
Senada
dengan Wasis DKK (2008:1) Pengukuran merupakan membandingkan suatu besaran yang
diukur dengan besaran sejenis yang dipakai sebagai satuan .
Dari
kedua pendapat diatas pengukuran merupakan pekerjaan membandingkan yang tidak terlepas dari suatu besaran yang
diukur serta besaran sejenis yang dianggap sebagai patokan.
Agar
pengukuran akurat dan dapat dipertanggung jawabkan maka dalam kegiatan mengukur
kita memerlukan satuan baku, yaitu satuan pembanding tetap dan disepaka oleh
semua orang serta akuntability .Menurut Atu Ira (2004:1) ada beberapa syarat yang hasrus dimiliki
suatu satuan agar bisa menjadi satuan
standar adalah:
a.
Nilai satuan
harus tetap, dalam arti satuan tidak boleh berubah-ubah terhadap lingkungan
, cuaca,usia, atau apapun.
b.
Mudah
diperoleh kembali , bagi orang lain yang menggunakan satuan tersebut tidak
mengalami kesulitan dalam menggunakannya
dengan cara membandingkannya.
c. Satuan harus dapat diterima secara
internasional.Dapat diterimanya satuan
secara internasional ini ,maka antara
satu masyarakat dengan masyarakat yang lain akan sama dan dapat dipertanggung
jawabkan.
Selain
satuan baku, dalam pengukuran ada juga satuan yang tidak baku seperti yang
sering kita dengar yaitu jengkal, kaki , depa dan hasta. Selain yang sudah
disebutkan ternyata ada juga satuan yang
digunakan oleh suatu komunitas masyarakat yang penulis menyebutnya adalah masyarakat Adat Kasepuhan Cisitu.Masyarakat
adat kasepuhan cisitu merupakan
kasepuhan adat yang mencakup wilayah
Desa Situmulya dan Desa Kujangsari di Kecamatan Cibeber Kabupaten
Lebak-Banten sebuah masyarakat tradisi
yang mempertahankan budaya-budaya kearifan local , salah satunya
penggunaan satuan yang menurut pemahaman penulis termasuk satuan yang tidak baku.Adapun satuan yang tidak baku
tersebut adalah:
1.
Pocong
Pocong merupakan satuan tidak baku yang digunakan untuk mengukur
banyaknya tandan-tandan padi yang di satukan dengan menggunakan dua genggaman
tangan.Kegiatan ini dilakukan setelah panen
raya yang pelaksanaanya secara gotong royong , aturan pembagiannya
apabila dapat 5 pocong maka 1 pocong untuk yang ikut panen, untuk pembagian ini
mungkin beda dengan daerah lain
Gambar:
1 Gambar: 2
2.
Gantang
Gantang
merupakan pengukuran tidak baku yang ter
akumulasi dari perhitungan 10 liter beras . Satu Gantang kalau ditimbang akan menghasilkan
massa sekitar 8 Kg. Di daerah lain gantang ada juga yang menyebutnya deka, yang
perhitungan nya sama dengan gantang
Sajikan
gambar
3.
Kojor
Satuan
tidak baku kojor biasanya hanya digunakan untuk gula merah,dikatakan satu kojor
apabila ada lima ikatan gula, satu ikatan gula biasanya berjumlah dua
batok.Batok diambil dari kata cetakan yang digunakannya,kalau ditimbang sekitar
3Kg.
Selain dalam bentuk ikatan ada juga dalam
bentuk silinder atau yang disebut toros yang jumlahnya lima silinder, beda
dengan yang diikat cetakannya dari batok, yang berbentuk silinder dicetak
menggunakan bambu.
4.
Matek
Matek
ini digunakan oleh masyarakat ketika mengukur tanah, batu kerikil dan pasir .Satuan
yang tidak baku ini mungkin menarik bagi kita. Mengapa penulis menganggap
menarik terhadap satuan ini ,karena ada
beberapa alasan:
a. Alat
ukur yang digunakannya adalah kaleng cat yang 5 kg
b. Hasil
pengukurannya kalau di timbang menggunakan
neraca atau timbangan akan menghasilkan angka yang berbeda.contoh
No
|
Bahan
|
Setelah ditimbang
|
1
|
Batu
padat
|
10
Kg
|
2
|
Tanah
campur kerikil
|
6
Kg
|
3
|
Pasir
|
8
Kg
|
Gambar: 4
C. Kesimpulan
Di lingkukangan masyarakat perkotaan
penggunaan alat ukur dengan satuan tidak baku mungkin sudah ditinggalkan dan tidak digunakanlagi , karena memang akurasinya
tidak bisa dipertanggung jawabkan. Tetapi ternyata penggunaan alat ukur dengan satuan tidak baku masih digunakan dimasyarakat adat kasepuhan cisitu .Hal ini mungkin bukan
hanya didaerah adat kasepuhan cisitu saja, di masyarakat Indonesia yang lain , terutama didaerah
yang jauh dari kota penggunaan alat ukur
dengan satuan tidak baku ini menjadi
sebuah alternative.
Kita sebagai orang yang sudah
mengenal alat ukur dengan satuan baku
, tetap menghargai kearifan local ,walaupun alat ukur
dengan satuan tidak baku masih digunakan oleh masyarakat.Kita tetap memberikan
pemahaman kepada masyarakat , bahwa alat ukur dengan satuan yang baku-lah
menjadi patoka utama, ketika melakukan pengukuran.
Penulis sadari masih banyak
kekurangan dalam pembuatan artikel ini, yang ingin penulis sampaikan adalah
kita saat ini harus mengenal alat ukur
dengan satuan baku, tetapi kita juga harus mengenal alat ukur dengan satuan tidak baku. Agar kita bisa
membandingkan dan tetap menghargai
orang-orang terdahulu kita yang sudah menciptakan alat ukut-alat ukur dengan
satuan tersebut.
Penulis
Stap Pengajar di SMPN 7 Satap Cibeber-Lebak
D. Daftar
Pustaka
Sugiyanto Teguh dan Ismawati Eny.2006.Ilmu Pengetahuan Alam SMP/MTS
VII.
Jakarta:
Pusat perbukuan , Departemen Pendidikan Nasional
Saiful Karim (dkk),2008, Belajar IPA kelas VIII, Jakarta: Pusat perbukuan , Departemen
Pendidikan Nasional
Ira Atu.2004,Sains
Fisika Untuk SMP dan MTs Kelas VII,Bandung:Angkasa
Langganan:
Postingan (Atom)